Minggu, 03 April 2011

Perekonomian Dunia Ternyata Dikendalikan Hanya oleh 7 Kepala Negara

Mencermati dinamika perekonomian dunia saat ini ada fakta yang tak terbantahkan bahwa sesungguhnya kehidupan lebih 5,2 milyar manusia yang berserak di 182 negara, berada di bawah kontrol negara-negara maju yang tergabung dalam G7 (Amerika Serikat, Kanada, Itali, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis). Karena secara riil, keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup penduduk dunia tidak lagi ditentukan oleh warganegara (elit politik) yang berada di masing-masing negara, tetapi harus mengikuti keputusan yang digariskan oleh Oranisasi Perdagangan Dunia (WTO), lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank Pembangunan Eropa (EBRD), Bank Pembangunan antar Amerika (IADB) dan Bank Pembangunan Islam (IDB).

Lewat berbagai lembaga perdagangan dan keuangan internasional di atas, negara-negara kapitalis G7 memperkuat hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol berbagai sumber kekayaan ekonomi (resources) di dunia. Melaui tangan WTO, mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia; lewat tangan lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara-negara dan siapa saja yang dapat menikmati kucuran uang lembaga keuangan itu. Lewat aturan IMF, mereka dapat menekan negara-negara untuk mengikuti ‘skenario’ mereka: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Kunci utamanya adalah liberalisasi atau pasar bebas, atau dalam bahasa awam bagaimana pasar di dunia terbuka seluas mungkin bagi produk-produk negara maju tersebut. Sehingga dengan sendirinya, ketika ada jaminan bahwa produk-produk mereka terjual di seluruh dunia, maka jaminan keuntungan kapital telah jelas di depan mata.

Inilah yang kemudian ramai disebut fenomena penetrasi kekuatan neo-liberal pasca perang dingin yang merangsek masuk ke dalam perekonomian dunia ketiga, termasuk Indonesia.

Syarat-syarat adanya deregulasi, privatisasi dan liberalisasi adalah syarat dasar yang ditekankan oleh aliran pendukung neo-liberal, yang sekarang menguasai perekonomian dunia. Setelah tekanan untuk mengadakan aturan-aturan hukum yang mendukung pasar bebas, langkah selanjutnya adalah mendorong swastanisasi. Desakan swastanisasi perusahaan-perushaan milik negara (BUMN) dengan segala dalihnya semakin menguat di Indonesia. Dari 14 BUMN yang akan diswastakan, sangat terlihat bahwa yang mendapat prioritas untuk diswastakan adalah BUMN yang menguntungkan, seperti PLN, Angkasa Pura (pengelola jasa Bandar udara), Telkom, PAM (air minum), BCA dan Bank Niaga (jasa perbankan) dan industri semen (Semen Padang, Semen Gresik dan Semen Tonasa). Yang luput dari proses swastanisasi di Indonesia adalah tidak adanya aturan yang baku sebagai batasan kerja, apalagi desain strategi swastanisasi yang transparan, partisipatif dan akuntabel.

Kebijakan perdagangan dalam WTO juga mendapat kritik tajam, terutama ketika WTO tidak hanya mengurus masalah perdagangan tetapi juga merambah area distribusi asset pengelolaan sumber daya alam dan jasa.

Bahaya lainnya adalah konglomerasi para pengusaha makanan asing di Indonesia juga dapat membahayakan pola konsumsi. Mereka memasarkan minuman soft drink, junk food, dan memasarkan minuman beralkohol atau rokok yang tidak layak dikonsumsi. Nestle yang berbasis di Swiss diduga kuat telah merusak pola konsumsi
bayi di negara ketiga dengan memaksa minuman susu formula, dan baru-baru ini memakai bahan-bahan transgenic.

Etika para konglomerat global ini juga patut dipertanyakan, karena selalu didasarkan prinsip ekonomi: “Memberi sedikit mungkin, mendapat sebanyak mungkin”. Investigasi yang dilakukan kongres Amerika ditahun 1977 menyingkap 360 pengusaha di Amerika yang mengakui telah menyogok negara-negara asing dimana mereka beroperasi. Lebih buruk lagi, kadang mereka membantu rezim setempat untuk urusan politik. Shell –perusahaan minyak Amerika-- mendukung rezim militer, demikian pula Mobil Oil di Aceh yang mengijinkan arealnya dipakai sebagai basis militer.

Uraian di atas memperlihatkan sebuah persoalan besar, tapi seringkali dianggap tidak besar oleh sebagian besar rakyat Indonesia, bahkan oleh para elit politik dan elit bisnis (khususnya yang awam terhadap persoalan ini). Padahal, persoalan ini seperti penyakit kangker ganas yang secara pasti akan membunuh siapa pun yang terjangkiti. Oleh karena “pasiennya” adalah negara secara institusi dan rakyat Indonesia secara substantif yang merasakannya, maka solusinya selain memerlukan
political will yang massal, juga waktu yang harus terus berkesinambungan.

Tambahan Istilah :

Dunia Ketiga

Istilah-istilah subyektif Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga, dapat dipergunakan untuk membagi negara-negara di muka bumi ke dalam tiga kategori yang luas. Dunia Ketiga adalah istilah yang pertama kali diciptakan pada 1952 oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin. Namun sekarang ini istilah ini sering dipergunakan untuk merujuk negara-negara yang mempunyai Indeks Pengembangan Manusia PBB (IPM), terlepas dari status politik mereka (artinya bahwa Republik Rakyat Cina, Rusia dan Brasil, yang semuanya saling bersekutu dengan erat selama Perang Dingin, seringkali disebut Dunia Ketiga). Namun, tidak ada definisi yang obyektif tentang Dunia Ketiga atau "negara Dunia Ketiga" dan penggunaan istilahnya tetap lazim.

Sebagian orang di lingkungan akademis menganggap istilah ini sudah kuno, kolonialis, diskriminatif dan tidak akurat. Namun ternyata istilah ini tetap dipergunakan. [1] Pada umumnya, negara-negara Dunia Ketiga bukanlah negara-negara industri atau yang maju dari segi teknologi seperti negara-negara OECD, dan karena itu di lingkungan akademis digunakanlah istilah yang lebih tepat secara politis, yaitu "negara berkembang".

Istilah-istilah seperti Selatan yang Global, negara-negara yang kurang makmur, negara berkembang, negara yang paling kurang maju dan Dunia Mayoritas telah semakin populer di kalangan-kalangan yang menganggap istilah "Dunia Ketiga" mengandung konotasi yang menghina atau ketinggalan zaman. Para aktivis pembangunan juga menyebutnya Dua Pertiga Dunia (karena dua pertiga dunia tertinggal di dalam pembangunan) dan Selatan. Istilah Dunia Ketiga juga tidak disukai karena istilah ini menyiratkan pengertian yang keliru bahwa negara-negara tersebut bukanlah bagian dari sistem ekonomi global. Sebagian orang mengklaim bahwa ketertinggalan Afrika, Asia dan Amerika Latin pada masa Perang Dingin dipengaruhi, atau bahkan disebabkan oleh manuver-manuver ekonomi, politik, dan militer di masa Perang Dingin yang dilakukan oleh negara-negara yang paling kuat saat itu. (Lihat Pasar berkembang)

Istilah Dunia Keempat (yang merujuk kepada negara-negara yang paling kurang maju) digunakan oleh sejumlah penulis untuk menggambarkan negara-negara Dunia Ketiga yang termiskin, yakni mereka yang tidak memiliki infrastruktur industri dan sarana untuk membangunnya. Namun yang lebih lazim lagi istilah ini digunakan untuk menggambarkan paar penduduk pribumi atau kelompok-kelompok minoritas tertindas lainnya di lingkungan negara-negara Dunia Pertama.


sumber:
1. http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-relations/2138645-perekonomian-dunia-ternyata-dikendalikan-hanya/
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Ketiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar